Rahasia Ketenangan Hati Orang Beriman
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
Dalam kehidupan seorang mukmin, ketaatan kepada ﷲ bukan hanya soal menjalankan perintah yang tampak di mata. Lebih dari itu, ia juga menyangkut bagaimana hati menerima ketetapan ﷲ dengan penuh keikhlasan. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an dengan ungkapan “Sami‘na wa Aṭo‘na” — kami dengar dan kami taat.
Dalam kehidupan seorang mukmin, ketaatan kepada ﷲ bukan hanya soal menjalankan perintah yang tampak di mata. Lebih dari itu, ia juga menyangkut bagaimana hati menerima ketetapan ﷲ dengan penuh keikhlasan. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an dengan ungkapan “Sami‘na wa Aṭo‘na” — kami dengar dan kami taat.
Suatu ketika turun ayat dalam Surah Al-Baqarah ayat 284:
“Lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, wa in tubdū mā fī anfusikum au tukhfūhu yuḥāsibkum bihillāh.”
Artinya: “Milik ﷲ-lah apa yang di langit dan di bumi. Jika kalian menampakkan atau menyembunyikan apa yang ada di dalam diri kalian, niscaya ﷲ akan menghisabnya.”
Ketika ayat ini turun, para sahabat merasa berat. Mereka khawatir akan dihisab bahkan atas lintasan hati yang tidak mampu mereka kendalikan. Mereka datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami mampu menunaikan salat, zakat, jihad, dan amal lainnya. Tetapi kami tidak mampu menguasai hati kami.”
Rasulullah ﷺ menegur dengan lembut, “Janganlah kalian berkata seperti orang-orang Ahli Kitab yang berkata Sami‘na wa ‘Aṣainā (kami dengar tetapi kami durhaka), tapi katakanlah Sami‘na wa Aṭo‘na, Ghufrānaka Rabbanā wa Ilaikal Maṣīr.” (HR. Muslim no. 125). Maka para sahabat pun tunduk dan menerima dengan ketaatan penuh.
Melihat keikhlasan hati mereka, ﷲ menurunkan ayat penyejuk dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:
“Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā.”
Artinya: “ﷲ tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat ini menenangkan hati para sahabat bahwa ﷲ tidak akan menghukum lintasan hati yang tak mampu dikendalikan, selama belum diwujudkan dalam niat atau perbuatan.
Ulama menjelaskan bahwa lintasan hati (khawāṭir) ada tiga tingkatan. Pertama, lintasan spontan yang muncul tiba-tiba, seperti sekilas pikiran buruk — hal ini tidak dihisab oleh ﷲ. Kedua, lintasan yang diikuti niat sadar, maka dihitung sebagai amal. Ketiga, tekad yang diwujudkan menjadi perbuatan, maka ia sepenuhnya menjadi tanggung jawab pelakunya. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya ﷲ memaafkan untuk umatku apa yang dibisikkan dalam hatinya selama belum dikerjakan atau diucapkan." (HR. Bukhari no. 6664, Muslim no. 127).
Dari sini kita belajar bahwa niat menjadi pembeda antara lintasan yang dimaafkan dan perbuatan yang dihisab. Oleh karena itu, menjaga hati dan pikiran agar tetap bersih adalah bagian dari ibadah yang agung.
Ibnu ‘Āsyūr dalam Tafsir At-Taḥrīr wa at-Tanwīr menjelaskan, ayat “Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā” menunjukkan bahwa semua perintah syariat ada dalam batas kemampuan manusia. Jika seseorang tidak mampu melaksanakan suatu amalan karena uzur, maka ia tidak berdosa — justru ﷲ menggantinya dengan pahala niat yang tulus.
Namun, pikiran manusia bisa berubah karena kebiasaan. Bila seseorang sering melihat hal-hal maksiat, pikirannya akan kotor. Sebaliknya, bila ia terbiasa membaca Al-Qur’an, mendengar kajian, dan merenungi ciptaan ﷲ, maka lintasan hatinya akan baik. Inilah mengapa menjaga konsumsi pikiran menjadi sangat penting dalam menjaga iman.
Bahkan berpikir pun bisa menjadi ibadah. ﷲ berfirman dalam Surah Āli ‘Imrān ayat 191:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat ﷲ sambil berdiri, duduk, dan berbaring, serta mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, ‘Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.’”
Berpikir tentang kebesaran ﷲ adalah amal hati yang bernilai pahala besar.
Sebaliknya, berpikir untuk menentang kebenaran bisa menjadi dosa besar. Seperti kisah Al-Walīd bin al-Mughīrah yang disebut dalam Surah Al-Muddatsir ayat 18–19:
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (rencana jahat), maka celakalah dia, bagaimana dia menetapkan.”
Pikirannya yang jahat untuk menolak kebenaran menjadi sebab kemurkaan ﷲ.
Maka, seorang mukmin hendaknya berhati-hati dengan pikirannya. Ia berusaha mengarahkan lintasan hatinya kepada hal-hal yang diridhai ﷲ. Ketika datang pikiran buruk, ia segera istighfar dan berdoa agar dilindungi dari bisikan setan.
Sikap Sami‘na wa Aṭo‘na bukan hanya ucapan, tapi cerminan kerendahan hati di hadapan ﷲ. Ia menandakan kepasrahan penuh, bahwa setiap perintah dari Rabb pasti membawa kebaikan, dan setiap larangan pasti mencegah keburukan.
Seorang mukmin sejati adalah yang berkata, “Kami dengar dan kami taat,” meski perintah itu terasa berat. Karena ia yakin bahwa di balik setiap ketaatan, ada rahmat dan ketenangan dari ﷲ.
.png)
Posting Komentar