Mengapa Muslim Harus Belajar Fikih Jual Beli?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.

Rasulullah ﷺ telah mengabarkan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi mempedulikan dari mana mereka mendapatkan harta, apakah halal atau haram (HR. Bukhari no. 2059). Fenomena ini merupakan salah satu tanda akhir zaman, di mana kesadaran beragama manusia semakin menipis. Mempelajari fikih jual beli dan hukum hara menjadi benteng dari fenomena mengerikan ini.

Setiap harta yang kita miliki akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah ﷻ kelak. Firman-Nya dalam Surah At-Takatsur ayat 8 menegaskan, "Kemudian, pasti kamu akan ditanya tentang nikmat yang kamu rasakan." Pertanggungjawaban ini diperkuat oleh sabda Rasulullah ﷺ bahwa manusia akan ditanya tentang empat hal, termasuk hartanya; dari mana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan (HR. At-Tirmidzi no. 2416).

Oleh karena itu, hisab harta memiliki dua pilar utama: kehalalan dalam memperolehnya dan kebermanfaatan dalam membelanjakannya. Seorang Muslim yang sadar akhirat akan berusaha memastikan bahwa hartanya bersih dari cara-cara yang haram dan digunakan untuk hal-hal yang diridhai-Nya. Kesadaran inilah yang menjadi motivasi utama untuk mempelajari fikih muamalah.

Aktivitas manusia terbagi menjadi dua domain: ukhrawi (ibadah) dan duniawi (muamalah). Tujuan ibadah adalah kebahagiaan akhirat, sementara muamalah bertujuan untuk mengatur kebahagiaan dunia. Kunci perbedaannya terletak pada sumber pengetahuan. Manusia tidak tahu cara mencapai kebahagiaan akhirat kecuali melalui petunjuk wahyu, sehingga dalam ibadah, kita harus strik mengikuti Rasulullah ﷺ.

Sebaliknya, dalam urusan dunia, Rasulullah ﷺ memberikan kelonggaran. Sabda beliau, "Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian" (HR. Muslim no. 4357), menjadi dasar bahwa manusia boleh berinovasi selama tidak melanggar syariat. Namun, penting untuk membedakan antara urusan dunia (teknis) dengan hukumnya. Hukum halal-haram tetaplah wewenang Allah ﷻ dan Rasul-Nya.

Dalam muamalah, kaidah fikih menyatakan, "Hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang melarang." Ini memberikan ruang kreativitas yang luas. Sebaliknya, dalam ibadah, kaidahnya adalah, "Hukum asal segala sesuatu adalah terlarang kecuali ada dalil yang mensyariatkannya." Prinsip ini melindungi kemurnian ibadah dari bid'ah.

Transaksi jual beli memiliki banyak bentuk. Dilihat dari alat tukar, ia terbagi tiga: menukar uang dengan barang, barang dengan barang (barter), dan uang dengan uang (sharf). Transaksi sharf (tukar menukar uang) memiliki aturan sangat ketat: harus tunai (yadan bi yadin) dan setara jumlahnya jika sejenis, berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ (HR. Muslim no. 4144).

Dari sisi ketersediaan barang dan pembayaran, jual beli ada yang tunai kedua-duanya, ada yang salah satunya tertunda. Yang diharamkan secara sepakat ulama adalah jual beli di mana kedua-duanya tertunda, yang disebut bai' al-kali' bil kali (jual beli utang dengan utang). Larangan ini berdasarkan hadits yang melarang menjual sesuatu yang belum dimiliki (HR. Al-Bukhari no. 2136).

Berdasarkan cara penentuan harga, jual beli terbagi menjadi bai' al-musawamah (penjual tidak menyebutkan harga modal) dan bai' al-amanah (penjual jujur menyebutkan modal). Bai' al-amanah mencakup murabahah (jual dengan untung), tauliah (jual sesuai modal), dan wadhi'ah (jual di bawah modal). Semua ini diperbolehkan selama transparan.

Rukun jual beli terdiri dari tiga: al-'aqidan (pelaku akad), al-ma'qud 'alaih (barang dan harga), dan shighat (ijab-qabul). Shighat tidak selalu berupa ucapan formal. Transaksi melalui perbuatan (bai' al-mu'athah), seperti membayar lalu mengambil barang di minimarket, diperbolehkan oleh jumhur ulama, meski sebagian ulama Syafi'iyah mempersoalkannya.

Memahami fikih jual beli adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam. Ilmu ini bukan hanya untuk ahli agama, tetapi juga untuk setiap pelaku usaha, pedagang, dan konsumen. Dengan memahaminya, kita dapat terhindar dari riba, gharar (ketidakjelasan), dan kecurangan, yang semuanya dilarang dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 275, "Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Ayat ini menegaskan bahwa transaksi ekonomi yang halal adalah fondasi kehidupan yang barakah. Sebaliknya, riba akan menghancurkan keberkahan harta dan kehidupan.

Dengan ilmu ini, seorang Muslim tidak hanya mengejar keuntungan dunia, tetapi juga investasi akhirat. Setiap transaksi halal yang dilakukan dengan ikhlas dapat bernilai ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda, "Seorang pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada" (HR. At-Tirmidzi no. 1130).

Mari kita jadikan ilmu fikih muamalah sebagai panduan dalam setiap transaksi. Dengan demikian, kita tidak hanya selamat di dunia dari penipuan dan kecurangan, tetapi juga selamat di akhirat dari pertanggungjawaban yang pedih. Harta yang halal akan membawa ketenangan hidup dan mendekatkan kita kepada ridha Allah ﷻ.

 

Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART