Menyingkap Rahasia Iddah bagi Muslimah
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
Iddah adalah salah satu syariat yang ﻟﻠﻪ tetapkan untuk kaum wanita. Secara bahasa, iddah berasal dari kata al-‘adad yang berarti hitungan. Hal ini menunjukkan bahwa masa iddah selalu terkait dengan hitungan waktu tertentu, baik berupa bulan, haid, maupun hari. Sedangkan secara istilah, iddah adalah masa tunggu seorang wanita sebelum ia boleh menikah kembali, baik karena perceraian maupun ditinggal wafat suaminya.
Hikmah utama dari adanya iddah adalah memastikan kebersihan rahim seorang wanita. Dengan begitu, nasab anak dapat terjaga dengan baik dan tidak terjadi percampuran keturunan. Selain itu, iddah juga merupakan bentuk ketaatan kepada ﻟﻠﻪ dan penghormatan terhadap pernikahan yang sebelumnya telah terjalin. Syariat ini mengandung hikmah besar, meskipun terkadang tidak semua manusia dapat memahami alasan di balik ketentuan tersebut.
Bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya, iddah yang wajib dijalani adalah empat bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil. Hal ini sebagaimana firman ﻟﻠﻪ dalam surah Al-Baqarah ayat 234: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka (istri-istri itu) menangguhkan dirinya empat bulan sepuluh hari.” Jika dalam keadaan hamil, maka iddahnya berlangsung hingga melahirkan, sesuai dengan firman ﻟﻠﻪ dalam surah At-Talaq ayat 4: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Sementara itu, bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan masih hidup, iddahnya berbeda sesuai kondisi. Jika hamil, maka ia wajib menunggu hingga melahirkan. Jika masih mengalami haid, maka iddahnya adalah tiga kali quru’, yaitu tiga kali suci atau tiga kali haid, tergantung perbedaan pendapat ulama. Adapun wanita yang sudah tidak haid lagi karena menopause atau masih kecil, maka masa iddahnya adalah tiga bulan.
Namun, jika seorang wanita dicerai oleh suaminya sebelum sempat digauli, maka tidak ada iddah baginya. Hal ini berdasarkan firman ﻟﻠﻪ dalam surah Al-Ahzab ayat 49: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna quru’ dalam ayat iddah. Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, quru’ berarti tiga kali suci, sementara menurut mazhab Hanafi dan Hambali, quru’ berarti tiga kali haid. Masing-masing pendapat memiliki dalil yang kuat, baik dari Al-Qur’an, hadits Nabi ﷺ, maupun fatwa sahabat.
Bagi wanita hamba sahaya, masa iddahnya lebih singkat dibandingkan wanita merdeka, yaitu setengah dari masa iddah wanita merdeka. Jika suaminya wafat, maka iddahnya adalah dua bulan lima hari. Jika dicerai dalam keadaan haid, maka iddahnya dua kali quru’, dan jika tidak haid maka masa iddahnya satu bulan setengah. Hal ini berdasarkan ketentuan khusus dari syariat yang membedakan status antara wanita merdeka dan budak.
Dalam kondisi talak raj’i, yaitu talak yang masih memungkinkan suami untuk rujuk, maka wanita wajib tetap tinggal di rumah suaminya selama masa iddah. Ia masih berhak mendapatkan nafkah, pakaian, dan tempat tinggal sebagaimana sebelumnya. Bahkan, ia masih berstatus istri hingga talak itu berubah menjadi talak bain. Namun, meskipun masih boleh berhias, hubungan suami istri tidak boleh dilakukan kecuali setelah rujuk secara sah.
Adapun dalam talak bain, di mana suami tidak bisa lagi rujuk kecuali dengan akad nikah baru, maka hukum nafkah bagi istri berbeda. Jika wanita tersebut hamil, maka ia tetap berhak mendapatkan nafkah hingga melahirkan, tetapi jika tidak hamil, maka ia hanya berhak atas tempat tinggal dan tidak lagi atas nafkah.
Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, ada kewajiban khusus yang disebut ihdad, yaitu berduka. Selama masa iddah, ia dilarang berhias, memakai wangi-wangian, dan mengenakan perhiasan sebagai bentuk penghormatan kepada suaminya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada ﻟﻠﻪ dan hari akhir untuk berkabung lebih dari tiga hari atas kematian seseorang kecuali atas kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Al-Bukhari no. 1280, Muslim no. 1486).
Seorang wanita dalam masa iddah juga tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini berlaku baik dalam iddah karena cerai maupun iddah karena ditinggal mati. Keharusan tinggal di rumah menunjukkan bahwa masa iddah adalah ibadah yang penuh dengan hikmah, baik untuk menjaga kehormatan wanita maupun sebagai bentuk pengabdian kepada ﻟﻠﻪ.
Dengan demikian, iddah bukanlah sekadar masa tunggu tanpa makna. Ia adalah bagian dari ibadah, penjagaan nasab, serta penghormatan terhadap hubungan suami istri yang pernah terjalin. Seorang wanita yang bersabar dalam masa iddah akan mendapatkan pahala besar, karena ia menaati perintah ﻟﻠﻪ dan meneladani sunnah Rasulullah ﷺ.
Maka, hendaknya setiap muslim dan muslimah memahami dengan baik hukum-hukum iddah, sehingga tidak ada keraguan dalam menjalankannya. Segala ketentuan syariat tentu mengandung hikmah, meskipun sebagian di antaranya tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.
Syariat iddah mengajarkan bahwa pernikahan bukan hanya urusan duniawi, melainkan juga ibadah yang agung di sisi ﻟﻠﻪ. Ketika pernikahan itu berakhir, baik karena perceraian atau kematian, masih ada aturan-aturan yang harus dihormati sebagai tanda pengagungan terhadap pernikahan tersebut.
Oleh karena itu, marilah kita menempatkan syariat iddah pada posisi yang mulia, sebagaimana ﻟﻠﻪ dan Rasul-Nya ﷺ telah mensyariatkannya. Semoga kita termasuk orang-orang yang tunduk dan taat, sehingga memperoleh pahala besar dari setiap ketaatan.
Posting Komentar