Mengikuti Sunnah Nabi ﷺ Lahir dan Batin
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
Umat Islam diperintahkan untuk mengikuti Sunnah Nabi Muhammad ﷺ secara lahir dan batin. Ini berarti ketaatan tidak hanya pada amalan yang terlihat, tetapi juga mencakup keyakinan, niat, dan akhlak dalam hati. Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 1: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 1). Ayat ini mengajarkan agar kita selalu merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah sebelum berpendapat dalam urusan agama.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh, aku telah tinggalkan untukmu dua perkara. Kamu tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnahku.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’). Hadis ini menegaskan bahwa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah adalah jaminan keselamatan dari kesesatan.
Salah satu prinsip penting adalah tidak mendahului Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ. Artinya, kita dilarang berbicara atau berpendapat tentang agama tanpa dasar yang jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah. Ini dicontohkan oleh sahabat Muadz bin Jabal yang ketika ditanya oleh Nabi ﷺ tentang bagaimana ia memutuskan suatu perkara, ia menjawab: dengan Al-Qur'an, lalu Sunnah, dan barulah dengan ijtihad jika tidak ditemukan dalam kedua sumber tersebut.
Mengikuti Sunnah haruslah menyeluruh, baik dalam amalan lahir seperti salat dan puasa, maupun amalan batin seperti ikhlas, tawakal, dan rasa takut kepada Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Hadis ini menekankan bahwa Allah ﷻ menilai niat dan keadaan hati, bukan hanya penampilan luar.
Allah ﷻ akan menghisab manusia baik lahir maupun batin. Karena itu, setiap muslim wajib memperbaiki diri secara lahiriah dan batiniah. Amalan hati seperti ikhlas, tawakal, dan rasa takut kepada Allah ﷻ sama pentingnya dengan amalan fisik. Kesempurnaan iman tercapai ketika lahir dan batin selaras berdasarkan tuntunan Nabi ﷺ.
Para sahabat Nabi ﷺ adalah generasi terbaik yang patut dimuliakan. Mereka adalah murid langsung Rasulullah ﷺ dan perantara penyampai ajaran Islam kepada kita. Allah ﷻ berfirman: “Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar) berdoa: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-Hasyr: 10).
Rasulullah ﷺ melarang mencela sahabatnya. Beliau bersabda: “Janganlah kamu mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai infak mereka yang hanya sebesar satu mud atau setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan para sahabat.
Mencintai dan memuliakan sahabat adalah bagian dari akidah Ahlus Sunnah. Siapa yang membenci atau mencela sahabat, terutama Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, telah menyimpang dari jalan yang benar. Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang mencela sahabatku, maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ath-Thabrani).
Banyak sahabat yang dijamin masuk surga, seperti sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga. Jaminan ini tidak diberikan kepada generasi setelahnya, yang menunjukkan keistimewaan mereka. Iman para sahabat juga dijadikan standar oleh Allah ﷻ, seperti dalam firman-Nya: “Maka jika mereka beriman seperti iman kamu, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 137).
Mengikuti Sunnah dan mencintai sahabat membutuhkan kesabaran, karena banyak ujian yang menghadang, baik dari dalam diri seperti malas dan hawa nafsu, maupun dari luar seperti celaan dan gangguan orang lain. Namun, sejarah membuktikan bahwa para ulama justru produktif berkarya dalam kondisi tertekan. Imam Bukhari, misalnya, menulis Shahih Bukhari dalam keadaan terusir dan diusir dari negerinya.
Allah ﷻ menyukai hamba yang sabar. Nikmat Allah ﷻ sering datang dalam bentuk penutupan aib dan kemudahan beramal saleh meskipun kita tidak sempurna. Seorang ulama mengatakan: “Aku tidak tahu mana yang lebih patut disyukuri: maksiatku yang Allah tutupi atau kemudahan yang Allah berikan untuk taat kepada-Nya.”
Berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah serta mencintai sahabat adalah jalan keselamatan. Rasulullah ﷺ menunggu umatnya di telaga (al-haudh) kelak di akhirat. Siapa yang komitmen dengan ajaran beliau akan bertemu dengan Nabi ﷺ di sana. Ini memotivasi kita untuk istikamah di jalan yang benar.
Ijma’ (konsensus) ulama yang diakui adalah ijma’ para sahabat dan ulama setelahnya yang berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Siapa yang mengklaim adanya ijma’, maka ia telah berdusta. Bisa jadi manusia berselisih tetapi dia tidak mengetahuinya.” Ijma’ haruslah didasarkan pada penelitian mendalam, bukan sekadar klaim.
Ahlus Sunnah selamat dari bid’ah (inovasi dalam agama) karena mereka berpegang pada apa yang diajarkan Nabi ﷺ dan sahabatnya. Mereka tidak menambah-nambah syariat yang tidak ada contohnya. Keselamatan hanya ada dengan mengikuti Sunnah lahir dan batin, serta mencintai para sahabat Nabi ﷺ.
Dengan mengikuti Sunnah secara utuh dan memuliakan sahabat, kita berharap meraih ridha Allah ﷻ dan pertemuan dengan Nabi ﷺ di surga. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita termasuk orang yang istikamah dalam mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah, serta mencintai para sahabat Rasulullah ﷺ.
Posting Komentar