Hak dan Tanggung Jawab Seorang Hamba
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
Setiap manusia yang hidup di dunia ini pada hakikatnya hanyalah seorang hamba. Bukan seorang bos, bukan orang kaya, dan bukan pula orang terkenal. Hidup seorang hamba berarti seluruh ibadah, pengorbanan, hidup, dan mati hanyalah untuk ﷲ semata, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-An‘ām ayat 162: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk ﷲ, Tuhan semesta alam.”
Di dalam perjalanan sejarah, kita dapati banyak teladan dari Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Salah satu kisah yang penuh hikmah adalah ketika terjadi Perang Uhud. Pada saat itu Rasulullah ﷺ memegang sebilah pedang dan bertanya kepada para sahabat: “Siapa yang mau mengambil pedang ini dariku?” Mendengar pertanyaan tersebut, hampir semua sahabat berebut mengangkat tangan dan berkata: “Saya, ya Rasulullah.”
Namun Rasulullah ﷺ kemudian melanjutkan dengan pertanyaan kedua: “Siapa yang mau mengambil pedang ini dengan haknya?” Sejenak suasana menjadi hening. Tak ada sahabat yang berani menjawab, karena mereka memahami bahwa maksud Rasulullah ﷺ bukan sekadar menerima pedang, tetapi menggunakan pedang itu dengan penuh tanggung jawab di medan perang.
Hingga akhirnya seorang sahabat mulia bernama Abu Dujanah رضي الله عنه berdiri dan berkata dengan tegas: “Saya akan mengambilnya dengan haknya.” Maka Rasulullah ﷺ pun memberikan pedang tersebut kepadanya. Abu Dujanah benar-benar membuktikan ucapannya. Beliau berjuang di medan perang dengan gagah berani, hingga tubuhnya penuh luka dan akhirnya syahid.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa sebuah peran bukan hanya soal kemauan, tetapi juga soal kesanggupan menunaikan haknya. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa menerima amanah berarti siap untuk totalitas dalam melaksanakan tanggung jawab, bukan setengah hati atau sekadar formalitas.
Inilah yang dimaksud dengan menunaikan hak. Pedang bukan sekadar benda untuk disimpan atau dipajang, tetapi senjata yang harus digunakan dengan benar di medan jihad. Begitu pula setiap amanah yang diberikan kepada kita, baik sebagai suami, istri, orang tua, anak, atau pemimpin, semuanya memiliki hak yang harus ditunaikan.
ﷲ mengingatkan kita dalam Al-Qur’an tentang amanah ini. Dalam surah Al-Ahzab ayat 72 disebutkan: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
Ayat ini menegaskan bahwa manusia menerima amanah yang sangat berat. Maka tidak pantas bagi kita untuk hanya melihat sisi enaknya saja dari sebuah peran, tanpa memahami hak-hak yang harus ditunaikan. Seorang suami tidak cukup hanya mengaku mencintai istrinya, tetapi ia harus memenuhi hak-hak istrinya dengan sebaik-baiknya. Seorang istri tidak cukup hanya bangga menjadi pendamping suami, tetapi ia harus berusaha menunaikan hak-hak suaminya dengan penuh kesungguhan.
Begitu pula menjadi orang tua bukan sekadar memiliki anak. Hak anak harus dipenuhi, mulai dari pendidikan iman sejak kecil, hingga bimbingan agar menjadi pribadi yang shalih. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829).
Kita juga harus memahami bahwa bahkan harta benda yang kita miliki memiliki hak yang harus ditunaikan. Mobil, rumah, bahkan pakaian akan ditanya oleh ﷲ di hari kiamat apakah digunakan dengan benar atau hanya untuk berbangga diri. Jika sebuah pedang saja memiliki hak yang harus ditunaikan, apalagi amanah berupa manusia, keluarga, atau jabatan.
Pelajaran penting lain dari kisah ini adalah tentang totalitas. Abu Dujanah tidak setengah-setengah ketika menerima pedang dari Rasulullah ﷺ. Ia paham risikonya, bahkan nyawa taruhannya. Tetapi ia tetap maju karena ia sadar itu adalah amanah besar.
Kisah Abu Dujanah juga mengajarkan kita tentang sikap tawakal. Beliau maju bukan karena merasa kuat, tetapi karena yakin dengan pertolongan ﷲ. Inilah teladan bagi kita agar selalu meminta pertolongan kepada ﷲ ketika menerima sebuah amanah. Sebab tanpa pertolongan-Nya, kita tidak akan mampu menunaikannya dengan sempurna.
Pelajaran ini sangat relevan dalam kehidupan kita sehari-hari. Banyak orang ingin menikah, ingin punya anak, ingin jadi pemimpin, atau ingin kaya. Tetapi sedikit yang benar-benar memikirkan hak dan konsekuensi dari semua itu. Padahal setiap peran yang kita ambil akan dimintai pertanggungjawaban oleh ﷲ.
Maka marilah kita berhati-hati dalam menerima amanah. Jangan hanya sekadar ingin, tetapi pastikan kita siap menunaikan haknya. Rasulullah ﷺ telah memberi contoh lewat pertanyaan yang membuat para sahabat terdiam, karena mereka sadar bahwa menunaikan hak bukan perkara ringan.
Kisah Abu Dujanah mengajarkan kita untuk bersegera dalam kebaikan, namun juga harus disertai dengan kesiapan menanggung konsekuensi. Karena orang yang hanya cepat mengaku, tanpa tahu haknya, akan mudah lalai dan menzhalimi.
Dalam hidup ini, setiap keputusan membawa konsekuensi. Menjadi suami, istri, orang tua, atau pemimpin bukanlah kehormatan kosong. Semuanya adalah amanah. Dan amanah itu akan ditanya kelak di hadapan ﷲ.
Oleh karena itu, mari kita belajar meneladani Abu Dujanah. Jika kita menerima amanah, tunaikanlah haknya dengan penuh tanggung jawab. Jangan setengah-setengah, jangan hanya mencari enaknya, tetapi berikan yang terbaik.
Dan jangan lupa selalu memohon pertolongan ﷲ agar kita dimudahkan dalam menunaikan setiap hak, karena hanya dengan pertolongan-Nya kita mampu melaksanakan amanah sebaik-baiknya.
Semoga ﷲ memberikan kita kekuatan untuk selalu menunaikan hak-hak amanah dalam setiap aspek kehidupan. Wallahu a‘lam.
Posting Komentar