Muraqabah: Merasa Diawasi ﷲ dalam Setiap Keadaan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.

Segala puji bagi ﷲ ﷻ yang telah memberikan kita nikmat iman, kesehatan, dan kesempatan untuk kembali duduk dalam majelis ilmu. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umat yang istiqamah mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.

Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim" (HR. Ibnu Majah, no. 224). Nikmat taufiq untuk menuntut ilmu bukan sekadar memahami teori, tetapi bagaimana ilmu itu mengubah hati, lisan, dan perilaku kita. Oleh karena itu, kunci untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat adalah dengan memuliakan ilmu itu sendiri.

Para ulama dahulu sangat menghargai ilmu. Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu menempuh perjalanan sebulan hanya untuk mendapatkan satu hadits. Perjalanan yang berat itu dianggap lebih dari layak karena mereka yakin satu hadits dapat mengubah kehidupan. Memuliakan ilmu adalah syarat mutlak agar ilmu memuliakan diri kita.

Hari-hari ini, kita berada di bulan Al-Muharram, salah satu bulan mulia yang pahalanya dilipatgandakan oleh ﷲ. Terlebih pada hari Asyura, kesempatan emas untuk memperbanyak amal, termasuk belajar. Memuliakan ilmu di waktu mulia adalah tanda syukur kepada ﷲ atas nikmat-Nya.

Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin membawakan ayat ﷲ:

"Sesungguhnya ﷲ, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, baik di bumi maupun di langit" (QS. Ali Imran: 5).

Ayat yang sederhana ini memiliki makna yang dalam. Tidak ada satu pun gerakan, pikiran, atau perasaan kita yang luput dari pengawasan ﷲ. Hal ini sejalan dengan firman-Nya:

"Dan pada sisi-Nya kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya..." (QS. Al-An’am: 59).

Para ulama menjelaskan, bahkan biji yang jatuh di dasar laut yang paling dalam, dalam kondisi malam, tertutup awan dan hujan, tetap diketahui ﷲ secara rinci. Jika biji kecil di kegelapan saja diketahui, apalagi perbuatan manusia di tempat yang terang atau tersembunyi.

Oleh karena itu, tidak ada bedanya bagi ﷲ antara maksiat yang dilakukan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Semua tercatat dengan sempurna dalam Lauh Mahfuzh. Kesadaran inilah yang melahirkan muraqabah—perasaan selalu diawasi oleh ﷲ dalam setiap keadaan.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Hendaklah engkau memiliki rasa muraqabah kepada Zat yang tidak ada sesuatu pun tersembunyi dari-Nya.” Artinya, setiap amal kita harus dilandasi kesadaran bahwa ﷲ melihat, mendengar, dan mengetahui isi hati kita.

Hatim Al-Asham memberi nasihat: jika engkau beramal, ingatlah penglihatan ﷲ; jika engkau berbicara, ingatlah pendengaran ﷲ; dan jika engkau diam, ingatlah ilmu ﷲ tentang isi hatimu. Maka seorang mukmin yang sejati berusaha menyamakan kebaikan lahir dan batinnya.

Jangan tertipu dengan pujian manusia. Mereka hanya melihat sisi lahir kita, bukan batin. Seperti kisah gadis penjual susu di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang menolak mencampur susu dengan air walau ibunya berkata, “Umar tidak melihat kita.” Ia menjawab, “Kalau Umar tidak melihat, maka Rabb-nya Umar melihat.”

Abdul Wahid bin Zaid rahimahullah berkata, “Jika aku sadar bahwa Rabb-ku mengawasiku dari langit, aku tidak peduli dengan pengawasan makhluk lain.” Inilah puncak muraqabah—tidak peduli pada pandangan manusia, tapi fokus pada pandangan ﷲ.

Bila kita benar-benar memahami QS. Ali Imran: 5, kita akan memiliki performa hidup yang konsisten: sama di hadapan manusia maupun saat sendirian, sama ketika kaya maupun miskin, sama ketika sehat maupun sakit. Keimanan pada pengawasan ﷲ membuat kita stabil dalam ketaatan dan sabar dalam ujian.

Banyak orang bersikap manis hanya di hadapan atasan atau di ruang publik, namun berbeda ketika sendirian. Seorang mukmin yang bermuraqabah tidak mengenal perbedaan itu. Ia sadar bahwa pengawasan ﷲ berlaku setiap saat, tidak ada jeda, tidak ada libur.

Muraqabah juga menjaga kita dari sikap berlebihan terhadap dunia. Bukan berarti tidak boleh memiliki hobi atau kesenangan, tapi hati-hati jika hal itu melampaui batas hingga harus disembunyikan dari keluarga. Kalau kepada manusia saja kita sembunyikan, apalagi kepada ﷲ yang Maha Melihat, tentu mustahil.

Pengawasan ﷲ berlaku di semua keadaan, baik dalam ketaatan maupun maksiat, dalam kesenangan maupun kesusahan. Maka seorang muslim yang cerdas akan selalu menimbang sikapnya dengan timbangan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ﷺ di setiap waktu.

Akhirnya, kesadaran bahwa tidak ada yang tersembunyi dari ﷲ akan melahirkan pribadi yang jujur, konsisten, dan bertakwa. Seperti kata gadis penjual susu: “Kalau Umar tidak melihat, Rabb-nya Umar pasti melihat.” Itulah inti muraqabah yang menjadi pondasi semua amalan hati.

Semoga ﷲ ﷻ menjadikan kita hamba-hamba yang selalu merasa diawasi-Nya, menjaga lahir dan batin kita agar tetap selaras, dan memuliakan ilmu dengan sebenar-benarnya kemuliaan.

 

Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART