Larangan Memberikan Syafaat untuk Menggugurkan Hukum Had

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.

Dalam syariat Islam, hukum had adalah ketentuan hukuman yang telah Allah ﷻ tetapkan terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu, seperti zina, mencuri, dan membunuh. Hukum ini bukan sekadar aturan duniawi, tetapi termasuk bagian dari iman kepada Allah ﷻ dan hari akhir. Allah ﷻ berfirman:

“Janganlah belas kasihan terhadap keduanya (pelaku zina) mencegah kalian untuk menegakkan agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir...” (QS. An-Nur: 2)

Ayat ini menegaskan, rasa kasihan tidak boleh menghalangi penegakan hukum had. Sebab jika hukum tersebut tidak ditegakkan, kerusakan dan kejahatan akan semakin merajalela di masyarakat.

Rasa kasihan yang dilarang ini biasanya muncul pada kasus tertentu seperti zina suka sama suka, di mana orang mungkin melihatnya sebagai kesalahan pribadi, bukan kejahatan besar. Namun, Allah ﷻ memerintahkan agar pelaksanaannya disaksikan oleh sekelompok kaum mukminin, agar timbul efek jera bagi pelaku dan peringatan bagi yang lain.

Hukum had hanya bisa dibatalkan jika kasusnya belum sampai kepada penguasa. Misalnya, seseorang mencuri lalu dimaafkan langsung oleh korban sebelum dilaporkan. Tetapi jika sudah sampai kepada penguasa, tidak boleh ada syafaat untuk membatalkan hukuman tersebut.

Rasulullah ﷺ memberikan teladan tegas dalam hal ini. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, disebutkan kisah wanita dari Bani Makhzum yang mencuri. Karena berasal dari kabilah terpandang, orang-orang Quraisy berusaha mencari perantara untuk memohon keringanan kepada Nabi ﷺ. Mereka mengutus Usamah bin Zaid, sahabat yang dicintai Nabi ﷺ, untuk berbicara. Namun Rasulullah ﷺ marah dan bersabda:

“Apakah engkau ingin memberi syafaat dalam hukum had dari hukum-hukum Allah?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau kemudian menegaskan prinsip keadilan:

“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, jika orang terpandang mencuri mereka biarkan, tetapi jika orang lemah mencuri mereka tegakkan hukum had. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.” (HR. Bukhari no. 3475, Muslim no. 1688)

Sahabat Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu bahkan berkata:

“Jika hukum had telah sampai kepada penguasa, maka Allah melaknat orang yang memberi syafaat dan orang yang menerima syafaat tersebut.” (Al-Muwaththa’ Imam Malik)

Hadis ini menegaskan bahwa kedua belah pihak—pemberi dan penerima syafaat—sama-sama terkena dosa besar jika berusaha menggugurkan penegakan hukum had.

Kisah Safwan bin Umayyah juga menjadi pelajaran. Saat seorang mencuri selendangnya dan kasusnya sudah sampai kepada Rasulullah ﷺ, Safwan ingin memaafkan pelaku. Namun Nabi ﷺ menegur:

“Mengapa tidak engkau lakukan sebelum engkau membawanya kepadaku?” (HR. Abu Dawud no. 4376)

Ini menunjukkan, jika perkara sudah sampai kepada penguasa, syariat menuntut penegakan hukuman tanpa kompromi.

Larangan memberi syafaat dalam hukum had berlaku karena syariat memiliki tujuan menjaga agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Hukum yang ditegakkan memberi efek jera, sedangkan pembatalannya membuka pintu bagi kejahatan.

Nabi ﷺ juga memperingatkan dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:

“Siapa yang memberi syafaat sehingga hukum had batal, maka sungguh ia telah menentang perintah Allah.” (HR. Ahmad no. 5025, dinyatakan hasan)

Penentangan terhadap perintah Allah ﷻ dalam perkara syariat bukan sekadar kesalahan biasa, tetapi bentuk melawan hukum Allah yang termasuk dosa besar.

Dalam konteks modern, prinsip ini mengingatkan agar para penegak hukum, pengacara, atau siapa pun tidak membantu pelaku kejahatan untuk lolos dari hukuman yang adil. Bahkan, Al-Qur’an melarang tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan:

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)

Memberi syafaat untuk perkara keburukan termasuk dalam larangan ini, karena berarti menolong orang dalam kemaksiatan dan melemahkan penegakan keadilan.

Syafaat yang baik hanya dibenarkan jika tujuannya membantu dalam kebaikan—misalnya meringankan hukuman yang zalim atau merekomendasikan orang yang layak. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Berilah syafaat kalian, niscaya kalian akan diberi pahala.” (HR. Abu Dawud no. 5130)

Namun, jika syafaat diberikan pada perkara batil, pelakunya akan mendapat dosa dari keburukan yang dihasilkan. Oleh karena itu, setiap muslim harus selektif, memastikan bahwa bantuan atau pembelaannya tidak menzalimi pihak lain.

Prinsip keadilan dalam Islam jelas: hukum berlaku untuk semua, tanpa pandang bulu. Tidak ada kekebalan hukum bagi orang kaya atau pejabat. Menegakkan hukum had adalah bagian dari menjaga kemurnian agama dan keselamatan masyarakat.

 

Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART