Kaidah Penting dalam Fikih: Keyakinan Lebih Kuat daripada Keraguan
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
Dalam kehidupan kita sebagai umat islam, seringkali muncul keraguan yang mengganggu ketenangan ibadah. Islam melalui disiplin ilmu fikih telah menetapkan kaidah fundamental: "Asy-syakk la yazulu bil yaqin" (keraguan tidak dapat menghilangkan keyakinan). Kaidah ini menjadi solusi bagi problematika keraguan yang kerap menghantui umat Muslim dalam praktik ibadah sehari-hari.
Dalam kehidupan kita sebagai umat islam, seringkali muncul keraguan yang mengganggu ketenangan ibadah. Islam melalui disiplin ilmu fikih telah menetapkan kaidah fundamental: "Asy-syakk la yazulu bil yaqin" (keraguan tidak dapat menghilangkan keyakinan). Kaidah ini menjadi solusi bagi problematika keraguan yang kerap menghantui umat Muslim dalam praktik ibadah sehari-hari.
Rasulullah ﷺ telah memberikan pedoman jelas melalui sabdanya: "Tinggalkan apa yang meragukanmu dan ambillah apa yang tidak meragukanmu" (HR. Tirmidzi No. 2442). Hadis ini menjadi landasan utama dalam menyikapi berbagai bentuk was-was, baik dalam ibadah mahdhah maupun muamalah. Para ulama menjadikannya sebagai pijakan dalam merumuskan hukum-hukum fikih terkait keraguan.
Contoh konkret penerapan kaidah ini terlihat dalam kasus wudhu. Jika seseorang yakin telah berwudhu kemudian muncul keraguan apakah wudhunya batal, maka ia harus berpegang pada keyakinan awalnya. Imam Nawawi dalam Al-Majmu' menjelaskan bahwa keraguan yang datang setelah yakin tidak berpengaruh pada status hukum sebelumnya. Ini sesuai dengan kaidah "Al-yaqinu la yazulu bisy-syak" (keyakinan tidak hilang karena keraguan).
Kasus lain terdapat dalam ibadah shalat. Nabi ﷺ memberikan bimbingan ketika ada sahabat yang merasakan sesuatu di perutnya saat shalat: "Janganlah ia membatalkan shalat sampai ia mendengar suara atau mencium bau" (HR. Bukhari No. 175). Hadis ini menunjukkan bahwa selama tidak ada bukti konkret (yang termasuk kategori yaqin), maka keraguan tidak boleh mempengaruhi ibadah yang sedang dilakukan.
Hukum asal segala sesuatu dalam Islam juga menjadi bagian penting dari kaidah ini. Air, sebagai contoh, dihukumi suci sampai ada bukti yang menunjukkan kenajisannya. Allah ﷻ berfirman: "Dan Kami turunkan dari langit air yang suci" (QS. Al-Furqan: 48). Demikian pula tanah, pakaian, dan bebatuan - semuanya dihukumi suci selama tidak ada indikasi najis yang jelas.
Rasulullah ﷺ mempertegas prinsip ini dalam sabdanya: "Bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sujud) dan alat bersuci" (HR. Muslim No. 1097). Ini menunjukkan bahwa kesucian adalah hukum asal yang melekat pada ciptaan Allah, kecuali ada dalil yang mengubah statusnya. Kaidah ini sangat membantu ketika menghadapi situasi di mana bukti kenajisan tidak jelas.
Dalam konteks makanan, kaidah ini juga berlaku. Daging hewan pada dasarnya haram dikonsumsi kecuali disembelih dengan menyebut nama Allah ﷻ. Firman-Nya: "Makanlah dari apa yang disembelih dengan menyebut nama Allah" (QS. Al-An'am: 118). Jika muncul keraguan apakah penyembelihan dilakukan sesuai syariat, maka kembalilah pada hukum asal yaitu haram sampai ada kepastian.
Kasus menarik terjadi pada hewan buruan. Jika seseorang melepas anak panah lalu hewan buruannya jatuh ke air, sementara tidak jelas apakah mati karena panah atau tenggelam, maka statusnya kembali ke hukum asal yaitu haram. Ini penerapan nyata dari kaidah bahwa keraguan tidak bisa mengubah status yang sudah yakin.
Kehidupan manusia juga dilindungi oleh kaidah serupa. Darah, harta, dan kehormatan seseorang dihukumi haram dilanggar berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram seperti haramnya hari ini, bulan ini, dan negeri ini" (HR. Bukhari No. 67). Status perlindungan ini hanya bisa berubah dengan adanya sebab-sebab syar'i yang jelas.
Pembunuhan misalnya, hanya dibolehkan dalam tiga kasus: qishash (pembalasan setara), pelaku zina muhshan (yang sudah menikah), dan orang murtad. Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab..." (HR. Bukhari No. 6878). Ini menunjukkan betapa Islam menjaga nyawa manusia dengan ketat.
Harta benda juga mendapat perlindungan serupa. Tidak boleh mengambil harta orang lain tanpa alasan syar'i. Namun dalam kondisi tertentu seperti zakat yang tidak dibayarkan atau hutang yang tidak dilunasi padahal mampu, pihak berwenang boleh mengambilnya. Imam Syafi'i dalam Al-Umm menegaskan bahwa pengambilan harta harus melalui prosedur hukum yang benar.
Kaidah ini juga berlaku dalam ibadah shalat. Jika seseorang ragu jumlah rakaat yang sudah dikerjakan, ia harus memilih bilangan yang lebih sedikit. Nabi ﷺ mengajarkan: "Jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, hendaklah memilih yang paling mendekati kebenaran" (HR. Bukhari No. 401). Ini adalah bentuk konkret dari prinsip "kembali pada keyakinan saat ragu".
Dalam masalah nikah, kaidah ini pun diterapkan. Jika seseorang ragu apakah akad nikahnya sah atau tidak, sementara tidak ada bukti kuat tentang ketidakabsahannya, maka status pernikahan dihukumi sah. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menjelaskan bahwa selama tidak ada bukti cacat akad yang jelas, pernikahan dianggap sah berdasarkan keyakinan awal.
Kaidah ini juga melindungi dari bisikan setan. Seringkali muncul keraguan dalam hati tentang ibadah yang sudah pasti, seperti "sudah baca bismillah belum ya saat makan?". Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, was-was semacam ini harus diabaikan karena termasuk gangguan setan yang ingin mengganggu ketenangan beribadah.
Penerapan kaidah ini dalam kehidupan modern sangat relevan. Misalnya saat menggunakan air mineral kemasan, selama tidak ada indikasi najis, statusnya tetap suci meski ada keraguan tentang proses pengemasannya. Ini sesuai dengan kaidah "Al-aslu fil asy-ya'i al-ibahah" (hukum asal segala sesuatu adalah boleh).
Dalam transaksi ekonomi, jika ada keraguan tentang kehalalan suatu produk, sementara tidak ada bukti kuat keharamannya, maka statusnya kembali ke hukum asal yaitu halal. Ini berdasarkan kaidah fikih: "Al-yaqinu la yazulu bisy-syak" yang telah disepakati para ulama.
Kaidah ini juga mengajarkan sikap proporsional dalam beragama. Tidak berlebihan dalam menyikapi keraguan, tetapi juga tidak meremehkannya. Sebagaimana nasihat Imam Ibnul Qayyim: "Agama ini dibangun di atas keyakinan, bukan keraguan" (I'lam al-Muwaqqi'in).
Dengan memahami kaidah ini, umat Muslim dapat beribadah dengan tenang tanpa dibebani keraguan yang tidak bermanfaat. Islam mengajarkan keseimbangan antara sikap hati-hati dan tidak berlebihan dalam menyikapi berbagai persoalan hukum.
Semoga pemahaman tentang kaidah fikih ini membawa ketenangan dalam beribadah dan bermuamalah. Wallahu a'lam bish-shawab.
Semoga pemahaman tentang kaidah fikih ini membawa ketenangan dalam beribadah dan bermuamalah. Wallahu a'lam bish-shawab.
Referensi:
Al-Qur'an Al-Karim
Shahih Bukhari dan Muslim
Al-Majmu' - Imam Nawawi
Al-Mughni - Ibnu Qudamah
I'lam al-Muwaqqi'in - Ibnul Qayyim
Posting Komentar