Rahasia Keberkahan di Balik Memuliakan Tamu dalam Sunnah ﷺ
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
Segala puji bagi ﷻ yang senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita, ﷺ, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga akhir zaman.
Dalam Islam, memuliakan tamu adalah bagian dari akhlak mulia yang sangat dianjurkan. Hal ini bukan sekadar bentuk kebaikan sosial, namun juga merupakan bagian dari iman seseorang kepada ﷻ dan hari akhir. Sebagaimana sabda ﷺ, “Barang siapa yang beriman kepada ﷻ dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adab pertama yang disebutkan dalam kitab Adabul Islâmiyah karya Syaikh Wahid Abdus Salam Bali adalah hendaknya tuan rumah membuka pintu sebelum kedatangan tamu. Hal ini diambil dari pelajaran Al-Qur’an ketika ﷻ memuliakan orang-orang beriman yang akan memasuki surga, “Surga ‘Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka.” (QS. Shad: 50). Ini menggambarkan bagaimana penghormatan dimulai sejak awal kedatangan.
Persiapan yang baik juga dianjurkan bagi tuan rumah. Ia hendaknya menyiapkan dirinya dan rumahnya dengan layak sebelum tamu tiba. Ini menunjukkan penghormatan dan kesungguhan tuan rumah dalam memuliakan tamunya, sebagaimana ﷻ mempersiapkan surga untuk para hamba-Nya yang beriman.
Salah satu adab yang sangat mulia adalah mengutamakan kebutuhan tamu meskipun diri sendiri dalam keadaan kekurangan. ﷻ berfirman, “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9). Kisah para sahabat yang mengutamakan tamu di atas kebutuhan keluarganya merupakan teladan yang sangat agung.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang sahabat Anshar menjamu tamu ﷺ meskipun di rumahnya hampir tidak ada makanan. Dengan penuh keikhlasan, ia dan istrinya memilih untuk menahan lapar demi memuliakan tamu tersebut. ﷺ bersabda bahwa ﷻ tertawa (merasa ridha) atas perbuatan mulia tersebut (HR. Bukhari).
Keikhlasan dalam memuliakan tamu merupakan adab yang sangat penting. Amal sebesar apapun, jika tanpa keikhlasan, tidak akan bernilai di sisi ﷻ. Sebaliknya, amal kecil yang dilakukan dengan ikhlas bisa bernilai besar di sisi-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu, sambutan yang ramah dan wajah yang ceria juga bagian dari memuliakan tamu. ﷺ bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi, Hasan Shahih). Sambutan hangat memberikan kenyamanan dan menunjukkan penghargaan kepada tamu.
Hidangan yang disajikan kepada tamu sebaiknya merupakan yang terbaik yang kita miliki, namun tidak memberatkan diri. Nabi Ibrahim عليه السلام memberi teladan ketika kedatangan tamu-tamunya, “Kemudian dia pergi kepada keluarganya, lalu datang dengan membawa anak sapi gemuk.” (QS. Adz-Dzariyat: 26).
Hidangan yang baik bukan sekadar urusan makanan, tetapi juga menunjukkan penghormatan dan perhatian kepada tamu. Bahkan tamu yang tidak dikenal pun hendaknya diperlakukan dengan baik, sebagaimana Nabi Ibrahim عليه السلام memperlakukan tamunya yang ternyata adalah para malaikat.
Keutamaan memuliakan tamu sangat berkaitan dengan keimanan. Oleh sebab itu, ﷺ mengaitkan adab ini dengan iman kepada ﷻ dan hari akhir. Ini menunjukkan bahwa penghormatan terhadap tamu bukan hanya norma sosial, tetapi bagian dari ajaran iman.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda ﷺ, “Barang siapa yang beriman kepada ﷻ dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam; dan barang siapa yang beriman kepada ﷻ dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam kehidupan sehari-hari, mengamalkan adab-adab ini bukan hanya akan mempererat tali silaturahmi, tetapi juga menghidupkan sunnah ﷺ. Hal ini memberikan dampak positif bagi pribadi dan masyarakat secara luas.
Kisah para sahabat menunjukkan bahwa semangat memuliakan tamu dilandasi dengan keinginan untuk meraih ridha ﷻ. Mereka rela mengorbankan kebutuhan pribadi demi menunjukkan penghormatan kepada tamu.
Di masa kini, keteladanan para sahabat dalam memuliakan tamu bisa kita teladani dengan menyesuaikan kemampuan. Keikhlasan dan ketulusan dalam menyambut tamu tetap menjadi inti dari adab ini, bukan semata-mata jenis atau banyaknya hidangan.
Apabila seseorang hanya mampu menyuguhkan air minum kepada tamunya, tetapi dengan hati yang ikhlas dan niat yang benar, maka itu pun dinilai sebagai amal yang besar di sisi ﷻ. Yang terpenting adalah usaha dan ketulusan dalam memuliakan tamu.
Sifat kikir merupakan penyakit hati yang harus dihindari dalam memuliakan tamu. Dalam Al-Qur’an, ﷻ memuji orang yang terbebas dari sifat kikir, “Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hashr: 9).
Memuliakan tamu juga merupakan wujud syukur atas nikmat yang ﷻ berikan. Sebagaimana dahulu di rumah ﷺ terkadang tidak ada makanan selama berhari-hari, maka kita yang hidup dalam kelimpahan hendaknya lebih bersyukur dengan cara berbagi kepada tamu.
Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menghidupkan adab-adab mulia ini dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga menjadi pribadi yang lebih dekat dengan sunnah ﷺ dan lebih dicintai oleh ﷻ.
Wallahu a’lam.
Referensi:
Al-Qur’an Al-Karim
Shahih Al-Bukhari
Shahih Muslim
Sunan Tirmidzi
Kitab Adabul Islâmiyah karya Syaikh Wahid Abdus Salam Bali
Posting Komentar