Bagaimana Menata Diri Dalam Islam
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.
Menata diri dalam Islam adalah proses penting yang harus dilakukan setiap Muslim untuk menjadi pribadi yang lebih baik di dunia dan akhirat. Proses ini mencakup penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), penguatan iman, peningkatan amal shalih, serta meninggalkan hal-hal yang sia-sia. Menata diri bukan hanya memperbaiki perilaku lahiriah, tetapi juga memperbaiki hati, niat, dan hubungan dengan Allah ﷻ.
Landasan awal dalam menata diri adalah ilmu. Tanpa ilmu yang benar, seseorang bisa tersesat atau melakukan amal dengan cara yang tidak sesuai tuntunan. Allah ﷻ berfirman, "Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Az-Zumar: 9). Imam al-Bukhari bahkan menempatkan bab “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan” dalam kitab Shahih-nya, menunjukkan urgensi belajar sebelum bertindak.
Dalam proses ini, hati adalah titik pusat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka penting bagi seorang Muslim untuk selalu menjaga kebersihan hati dan niatnya agar tidak tercemar oleh riya', hasad, atau penyakit hati lainnya.
Ibadah juga merupakan alat utama dalam membentuk jiwa dan karakter seorang Muslim. Konsistensi dalam shalat, dzikir, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya menjadi penopang kuat dalam menjaga keistiqamahan. Dalam hadits Qudsi, Allah ﷻ berfirman, “Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amal-amal sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari). Cinta Allah kepada hamba-Nya adalah buah manis dari proses penataan diri yang dilakukan dengan tulus dan sabar.
Lingkungan juga memainkan peranan besar dalam upaya memperbaiki diri. Rasulullah ﷺ bersabda, “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi...” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, memilih teman dan lingkungan yang mendukung kebaikan menjadi salah satu strategi sukses dalam menata diri.
Perubahan diri memerlukan kesabaran dan kontinuitas. Tidak semua orang langsung berhasil dalam waktu singkat. Allah ﷻ memerintahkan, “Dan bersabarlah engkau, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Hud: 115). Imam Ahmad bin Hanbal bahkan menyatakan bahwa ia bersabar menempuh jalan ilmu dan amal selama 40 tahun. Ini menunjukkan bahwa proses itu panjang, tapi hasilnya mulia.
Muhasabah atau evaluasi diri adalah kunci utama untuk terus berkembang. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab dan timbanglah amal kalian sebelum ditimbang.” Dengan mengevaluasi diri secara berkala, seseorang dapat mengenali kelemahan dan memperbaikinya seiring waktu.
Seseorang yang ingin berubah harus menjauhi dosa dan perbuatan maksiat yang bisa melemahkan ruhiyah. Allah ﷻ memperingatkan, “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebut dosa sebagai penghalang utama dalam proses tazkiyatun nafs, sebab dosa mematikan sensitivitas hati dan menunda keberkahan dalam hidup.
Menentukan tujuan hidup yang jelas menjadi bagian penting dalam menata diri. Islam mengajarkan bahwa hidup adalah ibadah, sebagaimana Allah ﷻ berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Dengan visi yang lurus, seorang Muslim akan hidup lebih fokus, terarah, dan tidak mudah tergoda oleh gemerlap dunia.
Setiap individu memiliki potensi yang bisa dikembangkan untuk kebaikan. Islam tidak hanya mengajarkan kesalehan individu, tetapi juga kontribusi sosial. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Allah tidak menciptakanmu sia-sia, maka jangan gunakan hidupmu untuk hal yang sia-sia.” Pengembangan diri dalam Islam bertujuan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya kepada umat.
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun sedikit (HR. Bukhari dan Muslim). Maka yang terpenting dalam perbaikan diri bukanlah intensitas sesaat, tapi keberlangsungan yang konsisten. Istiqamah adalah ujian utama setelah niat yang baik.
Salah satu keistimewaan Islam adalah pintu taubat yang senantiasa terbuka. Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah). Maka siapa pun yang ingin memperbaiki diri, hendaknya memulai dengan istighfar dan tekad yang kuat untuk berubah.
Dalam proses perubahan, jangan pernah tinggalkan doa. Rasulullah ﷺ sendiri yang maksum pun berdoa, “Ya Muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik.” (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa menjaga hati agar tetap istiqamah membutuhkan pertolongan Allah ﷻ, bukan sekadar usaha pribadi.
Menata diri harus dilakukan sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Islam tidak menerima inovasi (bid’ah) dalam urusan agama. Imam Malik rahimahullah pernah berkata, “Barang siapa yang membuat-buat dalam agama ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.” Maka dalam segala bentuk perbaikan diri, rujukannya tetap kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Akhirnya, proses menata diri bukan hanya untuk sukses duniawi, tapi untuk keselamatan akhirat. Allah ﷻ menjanjikan jalan keluar dan rezeki bagi orang yang bertakwa, sebagaimana dalam QS. At-Talaq: 2-3, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” Inilah buah dari menata diri dengan iman dan amal shalih.
Kajian Rutin
Kajian Rutin
Oleh: Ustadz Rafel Satria, S.H
Disiarkan Langsung di Masjid Umar Bin Khattab, Jalan Lingkar Tamiang, Simpang Empat, Pasaman Barat. Provinsi Sumatera Barat.
Selasa, 27 Mei 2025/29 Dzulhijjah 1446
Referensi
Referensi
Kajian: "Bagaimana Menata Diri" oleh Ustadz Rafel Satria, S.H – Naajiyatv YouTube
Al-Qur'anul Karim
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Jami’ At-Tirmidzi
Madarijus Salikin – Ibnul Qayyim
Majmu’ al-Fatawa – Ibnu Taimiyah
Kutipan ulama: Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnul Qayyim, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan
Posting Komentar