Kaidah Fikih: Kesalahan Tidak Sengaja, Terpaksa, dan Lupa
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.PENDAHULUAN:
Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dalam syariat Islam, terdapat kaidah fikih yang menjelaskan bahwa kesalahan yang dilakukan karena tidak sengaja, terpaksa, atau lupa tidak dikenai dosa. Kaidah ini berdasarkan dalil Al-Qur'an dan Hadis, serta dirumuskan oleh ulama seperti Syekh As-Sa'di dalam kitab Nazham Qawaidul Fiqhiyah.
1. Kesalahan Tidak Sengaja (Al-Khatha')
Definisi: Kesalahan tidak sengaja (khatha') terbagi menjadi dua:
Khatha’ fil Qasdi: Kesalahan yang terjadi meskipun ada niat melakukan perbuatan, tetapi tidak bermaksud pada hasil yang salah.
Contoh: Seseorang memanah musuh di medan perang, ternyata yang kena adalah muslim.
Hukum: Dosa dimaafkan.
Khatha’ fil Fi’li: Kesalahan yang sama sekali tidak direncanakan.
Contoh: Seseorang memanah hewan buruan, tetapi anak panahnya mengenai orang lain.
Hukum: Tidak ada dosa sama sekali.
Kesalahan Mujtahid
Dalam Islam, seorang mujtahid adalah ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad (menetapkan hukum syar'i berdasarkan dalil Al-Qur'an, Hadis, dan kaidah ushul fiqih). Namun, terkadang seorang mujtahid bisa keliru dalam mengambil kesimpulan hukum. Seorang mujtahid yang salah dalam berijtihad tetap mendapat pahala:
Dalam Islam, seorang mujtahid adalah ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad (menetapkan hukum syar'i berdasarkan dalil Al-Qur'an, Hadis, dan kaidah ushul fiqih). Namun, terkadang seorang mujtahid bisa keliru dalam mengambil kesimpulan hukum. Seorang mujtahid yang salah dalam berijtihad tetap mendapat pahala:
Jika benar: 2 pahala.
Jika salah: 1 pahala.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad lalu keliru, ia tetap mendapat satu pahala." (HR. Bukhari & Muslim)
Penjelasan:
Jika benar: Mendapat 2 pahala (pahala ijtihad + pahala kebenaran).
Jika salah: Mendapat 1 pahala (karena usahanya).
Apakah Mujtahid yang Salah Harus Bertaubat?
Apakah Mujtahid yang Salah Harus Bertaubat?
Dalam masalah ijtihadiyah (yang masih diperselisihkan ulama), tidak perlu taubat karena ia telah berusaha maksimal. Jika jelas melanggar nash (dalil qath’i), wajib rujuk kepada kebenaran.
Contoh Kasus Kesalahan Mujtahid
Contoh Kasus Kesalahan Mujtahid
Fatwa tentang obat tertentu:
- Seorang mujtahid menghukumi suatu obat halal karena tidak melihat kandungan haramnya.. Setelah penelitian lebih lanjut, ternyata mengandung alkohol.
- Hukum: Fatwanya salah, tetapi ia tidak berdosa karena sudah berijtihad.
Putusan hakim dalam sengketa:
Definisi: Ikrah adalah kondisi seseorang dipaksa melakukan sesuatu yang tidak diinginkan, baik fisik maupun psikis.
Dalil :
"Kecuali orang yang dipaksa, sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan." (QS. An-Nahl: 106)
"Kecuali orang yang dipaksa, sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan." (QS. An-Nahl: 106)
Hadis Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Allah memaafkan umatku karena kesalahan, lupa, dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya." (HR. Ibnu Majah)
Pembagian Ikrah
Masih Ada Pilihan:
Misal: Dipaksa minum khamr dengan ancaman dipukul (tidak mematikan).
Hukum: Lebih baik menolak dan sabar.
Tidak Ada Pilihan:
Misal: Dipaksa mengucapkan kalimat kufur dengan ancaman dibunuh.
Hukum: Boleh dilakukan, dosa gugur asalkan hati tetap beriman.
Syarat-Syarat Ikrah yang Dimaafkan
- Paksaan harus nyata (tidak sekadar ancaman verbal tanpa bukti).
- Tidak ada jalan keluar lain (misal: tidak bisa melawan/melarikan diri).
- Hati tetap mengingkari perbuatan haram tersebut.
Catatan:
- Jika seseorang bisa menghindar (misal: lari atau minta bantuan), maka tidak boleh menuruti paksaan.
- Tidak berlaku untuk pembunuhan: Tidak boleh membunuh orang lain meski dipaksa
3. Perbuatan Karena Lupa (An-Nisyan)
Definisi:
An-Nisyan artinya lupa atau ketidaksengajaan dalam melakukan/meninggalkan sesuatu. Dalam fikih, lupa termasuk udzur syar'i (alasan yang diterima) yang menggugurkan dosa dan konsekuensi tertentu.
Dalil Utama:
Dalil Utama:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah." (QS. Al-Baqarah: 286)
Allah menjawab: "Aku telah mengabulkannya." (HR. Muslim, no. 125; juga diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’i)
Contoh dan Hukum
- Lupa membaca bismillah saat menyembelih:.
Hukum: Hewan sembelihan tetap halal (menurut mayoritas ulama). - Lupa berwudhu sebelum shalat:
Hukum: Shalatnya tidak sah, wajib diulang. - Makan saat puasa karena lupa:
Hukum: Puasanya tetap sah (HR. Bukhari-Muslim).
Batasan Lupa yang Dimaafkan
- Tidak berlaku jika lupa disebabkan kelalaian (misal: sengaja tidak menghafal kewajiban).
- Tetap bertanggung jawab atas kerusakan hak orang lain (contoh: lupa mematikan keran hingga banjir).
4. Konsekuensi Hak Sesama Manusia
a) Prinsip Dasar:
HR. Bukhari (7352), Muslim (1716)
Meskipun Allah menggugurkan dosa untuk kesalahan tidak sengaja, terpaksa, atau lupa, hak manusia tetap harus dipenuhi.
Para ulama menyusun kaidah berdasarkan ayat dan hadis ini:
"الحقوق المتعلقة بالله مبناها على المسامحة، والحقوق المتعلقة بالعباد مبناها على المشاححة."
"Hak-hak yang berkaitan dengan Allah dibangun atas dasar kelonggaran (rahmat), sedangkan hak-hak yang berkaitan dengan manusia dibangun atas dasar ketelitian (tuntutan langsung)."
(Sumber: Kaidah Fikih dari al-Asybah wa an-Nazhair oleh Imam as-Suyuthi dan ulama lainnya)
b) Jenis Hak Sesama Manusia yang Wajib Dipenuhi:
c) Dalil dan Dasar Hukum
Sabda Nabi ﷺ:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ، مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ، بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ، أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْهِ."
"Barangsiapa memiliki kezaliman terhadap saudaranya, baik dalam hal kehormatan atau sesuatu lainnya, hendaklah ia meminta halal (menyelesaikannya) darinya hari ini, sebelum datang hari (kiamat) yang tidak ada dinar maupun dirham (yang bisa digunakan untuk membayar). Jika dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya. Jika dia tidak punya kebaikan, maka akan diambil dosa orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya."
(HR. Bukhari, no. 2449)
PENUTUP
Dalam Islam, syariat memberikan keringanan dan keadilan dalam menyikapi tindakan yang dilakukan karena tidak sengaja, terpaksa, atau lupa. Kaidah fikih “al-khatha’, wan-nisyān, wal-ikrāh ma‘fūn ‘anhu” menunjukkan rahmat Allah yang luas terhadap hamba-Nya. Namun, kelonggaran ini tidak boleh disalahgunakan untuk mengabaikan kehati-hatian dalam beramal atau berdalih atas kelalaian.
Sebagai Muslim, kita dituntut untuk terus belajar, berhati-hati, dan bertanggung jawab dalam menjalankan agama. Dan ketika terjatuh dalam kesalahan karena hal-hal di luar kehendak, hendaknya kita segera introspeksi dan memperbaiki diri, sembari tetap memohon ampun kepada Allah ﷻ.
Semoga ringkasan ini menambah pemahaman kita dalam beragama dan menjadi pengingat bahwa syariat Islam selalu berpijak pada keadilan dan kasih sayang.
Kajian Rutin
Oleh: Ustadz Abu Uwais Abrar, S.Ag
Disiarkan Langsung di Masjid Umar Bin Khattab, Jalan Lingkar Tamiang, Simpang Empat, Pasaman Barat. Provinsi Sumatera Barat.
Jum'at, 23 Mei 2025/03 Dzulhijjah 1446
Kajian Rutin
Oleh: Ustadz Abu Uwais Abrar, S.Ag
Disiarkan Langsung di Masjid Umar Bin Khattab, Jalan Lingkar Tamiang, Simpang Empat, Pasaman Barat. Provinsi Sumatera Barat.
Jum'at, 23 Mei 2025/03 Dzulhijjah 1446
REFERENSI:
Kajian Ustadz Abu Uwais Abrar, S.Ag (YouTube):
https://www.youtube.com/watch?v=ZCMd6KESS5Y&list=PLeh2u2i1JPjLX0dy4PC7zc45BTUYvwAGw&index=30&pp=iAQ
HR. Bukhari (7352), Muslim (1716)
Kitab Al-Mustashfa karya Al-Ghazali
Qawa’id al-Fiqhiyyah karya As-Sa’di
Al-Mughni (Ibnu Qudamah)
Fiqh As-Sunnah (Sayyid Sabiq)
Tafsir Ibnu Katsir (QS. An-Nahl: 106)
Al-Majmu’ (Imam Nawawi)
Fath al-Bari (Ibnu Hajar)
Tafsir Al-Qurthubi (QS. Al-Baqarah: 286)
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Wahbah Az-Zuhaili)
Riyadh as-Shalihin (Imam Nawawi)
Tafsir Ibnu Katsir (QS. An-Nisa: 29)
Posting Komentar