Jadilah Kunci-Kunci Kebaikan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Dengan rahmat dan taufik-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam agama ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunnah beliau hingga hari kiamat.

Jadilah Kunci Kunci Kebaikan
Segala puji bagi Allah ﷻ, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita, ﷺ, keluarga beliau, para sahabat, serta seluruh kaum muslimin yang senantiasa berusaha mengikuti sunnah beliau hingga akhir zaman.

Di antara keutamaan besar yang bisa diraih oleh seorang muslim adalah menjadi perantara tersebarnya kebaikan. Seseorang yang dijadikan oleh Allah ﷻ sebagai kunci kebaikan berarti hidupnya membawa manfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Bahkan, hadir di masjid dan duduk menunggu datangnya waktu shalat berjamaah, seperti shalat Maghrib ke Isya, tercatat sebagai amal shalih sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Barangsiapa yang duduk menunggu shalat, maka ia dalam keadaan shalat selama ia tidak melakukan hal yang sia-sia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Islam mengajarkan bahwa taufik dan hidayah dari Allah ﷻ adalah nikmat yang besar. Dengan taufik itulah seorang hamba dapat mengenal kebenaran dan mampu mengamalkannya. Namun, kesadaran bahwa amalan kita masih jauh dari kesempurnaan hendaknya membuat kita semakin giat memperbaiki diri. Salah satu bentuk kesyukuran atas nikmat iman ini adalah dengan menjadi sebab tersebarnya kebaikan di tengah umat.

Dasar pembahasan ini diambil dari sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi kunci-kunci kebaikan dengan tangan-tangan mereka, dan di antara mereka ada yang menjadi kunci-kunci keburukan dengan tangan-tangan mereka. Maka celakalah orang yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci keburukan.” (HR. Ibnu Majah, shahih).

Dalam hadits ini, Nabi ﷺ menjelaskan bahwa manusia terbagi dalam dua golongan: ada yang menjadi perantara kebaikan dan ada yang menjadi perantara keburukan. Maka, seorang muslim hendaknya bercermin dan bertanya dalam hatinya: di manakah posisinya? Namun, pertanyaan itu bukan sekadar berhenti dalam hati, melainkan harus diiringi dengan usaha dan doa agar menjadi kunci kebaikan.

Hidayah hanyalah milik Allah ﷻ. Bahkan para Nabi pun tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang mereka cintai. Kisah Nabi Nuh dan anaknya, serta Nabi Luth dan istrinya, menunjukkan bahwa usaha maksimal mereka tidak serta merta membuat orang yang mereka dakwahi menerima hidayah. Sebagaimana firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qashash: 56).

Maka, menjadi seorang muslim yang senantiasa memperbaiki diri dan ikhlas menyerahkan hati kepada Allah ﷻ adalah langkah pertama untuk menjadi kunci kebaikan. Diiringi dengan memperbanyak doa agar senantiasa diberikan keteguhan iman. Di antara doa yang sangat dianjurkan adalah: “Ya Allah, Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih).

Allah ﷻ memiliki nama-nama yang indah, di antaranya adalah Al-Fattah, Yang Maha Membuka. Dengan memahami makna nama ini, seorang hamba akan semakin banyak berdoa agar Allah ﷻ membukakan pintu-pintu kebaikan baginya. Tidak cukup hanya menyebut nama tersebut, melainkan memohon dengan sungguh-sungguh agar dijadikan sebagai pembuka kebaikan di tengah manusia.

Nabi ﷺ bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang diharapkan kebaikannya dan orang lain merasa aman dari keburukannya.” (HR. Tirmidzi, hasan). Dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim harus membawa manfaat, baik dalam hubungan suami-istri, orang tua-anak, guru-murid, atasan-karyawan, atau rakyat dan pemimpin. Setiap interaksi adalah peluang untuk menyebarkan kebaikan.

Tidak cukup seorang muslim hanya memperbaiki dirinya sendiri, melainkan ia juga berusaha agar kebaikan itu dirasakan oleh orang lain. Tidak berhenti pada kebaikan yang sudah diraih, ia terus belajar, menuntut ilmu, dan menggali berbagai bentuk kebaikan lainnya. Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

Dengan ilmu, seorang muslim akan mengetahui mana yang baik dan buruk, mana yang diperintahkan dan dilarang, sehingga ia dapat memilih dan mengajarkan kepada orang lain. Menjadi kunci kebaikan juga berarti menjaga diri dari menyebarkan keburukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kadang, tanpa disadari, seseorang membagikan hal-hal yang mengandung unsur maksiat, seperti musik atau konten yang dilarang dalam syariat. Ini harus diwaspadai.

Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya, tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikit pun.” (HR. Muslim). Maka, peluang pahala sangat besar bagi siapa saja yang mengajarkan atau mengajak kepada kebaikan, baik dengan lisan, tulisan, maupun perbuatan.

Sebaliknya, Nabi ﷺ juga memperingatkan: “Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim). Oleh karena itu, seorang muslim harus sangat berhati-hati agar tidak menjadi sebab tersebarnya keburukan.

Kadang-kadang, hal buruk tersebar bukan karena niat jahat, melainkan karena ketidaksadaran atau ucapan yang keliru, sehingga membuat orang lain menjauh dari majelis ilmu atau malas berbuat kebaikan. Bahkan membuka aib sendiri pun bisa menjadi sebab orang lain meniru perbuatan dosa yang sama.

Ada sebuah kisah menarik dari para sahabat, di mana seorang saudara membiayai adiknya untuk belajar di majelis Nabi ﷺ, sementara ia sendiri sibuk bekerja. Ketika mengeluh kepada Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Semoga dengan sebab usahamu itu, rezeki yang engkau terima dilimpahkan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi, hasan). Ini menunjukkan bahwa membantu penyebaran kebaikan, meskipun tidak langsung, tetap berpahala besar.

Seorang tabi’in, Mufadhdhal bin Abdullah, berkata: “Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tanganku, dan segala kebaikan diletakkan di tanganku yang lain, aku tidak mampu memasukkan kebaikan itu ke dalam hatiku kecuali dengan rahmat Allah ﷻ.” Ungkapan ini mengajarkan kita bahwa semua kebaikan, taufik, dan kemampuan untuk menyebarkan kebaikan hanyalah karena rahmat Allah ﷻ.

Oleh sebab itu, seorang muslim harus selalu mengiringi usahanya dengan doa, tawakal, dan keikhlasan. Jangan pernah merasa cukup atau bangga atas amal yang telah dilakukan, karena semua itu hanyalah karunia dari Allah ﷻ.

Akhirnya, harapan kita adalah menjadi hamba-hamba Allah yang diberi taufik untuk terus memperbaiki diri, mengajak kepada kebaikan, menghindari keburukan, dan menjadi sebab tersebarnya manfaat di tengah umat. Semoga Allah ﷻ menerima amal kita, meneguhkan hati kita di atas Islam, dan menjadikan kita sebagai kunci-kunci kebaikan di dunia dan akhirat.

Sumber referensi:

HR. Bukhari dan Muslim

HR. Tirmidzi

HR. Ibnu Majah

QS. Al-Qashash: 56

HR. Muslim

 

Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART